Potret 6 #Halaman Hati


Di Balik Potret
Minggu, 12 Oktober 2025
Dering ponsel itu menembus keheningan pagi, seperti suara yang terburu-buru ingin membangunkanku dari sisa mimpi. Tanganku refleks meraih ponsel di sisi bantal, menatap layar yang memantulkan waktu — pukul empat lewat sedikit.

“Masih pagi,” gumamku pelan, lalu kembali membenamkan wajah di bantal yang dingin.
Namun ketenangan itu tak bertahan lama.
“Bangun, cooo! Udah siang!” seru Aji dari ruang tamu dengan semangat yang menular.
Aku mengerjap, setengah malas, tapi ingatanku segera menuntun: hari ini aku harus pulang dari rumahnya, di Cijambe, Subang. Malam tadi aku memang memutuskan bermalam di sana, melepas penat dari segala urusan yang menumpuk.

Setelah berpamitan, aku segera berkemas, mengganti pakaian, dan bergegas pulang. Di rumah, aku hanya sempat mandi dan mengambil barang yang perlu kubawa ke Perpustakaan Daerah Purwakarta.
Jam di dinding menunjuk pukul 07.15. Aku harus tiba sebelum pukul sembilan.

Bagiku, waktu adalah hal yang tak bisa ditawar. Sekali hilang satu menit, bahkan sepuluh detik pun tak akan pernah bisa kembali.
Perjalanan menuju perpustakaan kulalui dengan langkah tergesa, tapi hati terasa ringan.
Dan ketika akhirnya aku tiba, suasana masih sepi. Hanya aku seorang.

Teman-temanku baru datang satu jam kemudian, meninggalkanku dalam hening yang justru menyenangkan.
Kusempatkan waktu menunggu itu untuk singgah di ruang internet — bukan untuk membaca buku, melainkan untuk melanjutkan tulisan yang sudah lama tak kusentuh.
Kata-kata yang dulu terhenti di antara kesibukan, kini perlahan ingin hidup kembali.

Tiba-tiba, entah dorongan apa, aku membuka laci meja komputer itu. Di sana, tergeletak sebuah buku dengan sampul yang sederhana namun memikat. Aku membukanya — dan seolah semesta ikut menuntunku — halaman itu langsung terbuka pada potret seorang perempuan yang memegang bunga, dengan tulisan kecil di sampingnya:

“Bersabar dan diam lebih baik.
Jika memang jodoh, akan terbuka sendiri jalan terbaiknya.
Jika tidak, akan diganti dengan orang yang lebih baik.”
Aku tertegun.

Ada desir lembut yang tak bisa kujelaskan, seperti seseorang menepuk bahuku dengan kata-kata. Seolah Tuhan sendiri sedang menyapaku lewat halaman yang mungkin sudah lama menunggu untuk dibaca.
Pagi itu, aku tak hanya menemukan buku. Aku menemukan pesan.

Bahwa kadang, yang kita butuhkan bukan jawaban cepat, melainkan diam yang dalam.
Bukan tergesa, tapi percaya.
Dan mungkin, semua potret yang kita temui di dunia ini — termasuk yang ada di buku itu — sesungguhnya hanyalah cermin dari hati kita sendiri.

Kini, setiap kali kuingat halaman itu, aku selalu merasa bahwa hidup sering kali bersembunyi di antara kebetulan yang tampak sepele.
Sebuah buku yang tak sengaja ditemukan, sebuah kalimat yang tiba-tiba terasa menatap balik, atau bahkan keheningan yang tanpa disadari sedang menuntun kita pulang.

Mungkin begitulah cara Tuhan berbicara — tidak melalui guntur atau cahaya yang menyilaukan, melainkan melalui lembaran sunyi yang menunggu disentuh.
Dan di balik setiap potret yang kita temui, selalu ada cerita tentang diri kita sendiri yang sedang belajar menerima, menunggu, dan memahami makna sabar yang sejati.

Aku menutup buku itu perlahan, seperti menutup bab kecil dalam perjalanan hidupku.
Tapi entah mengapa, sejak hari itu aku tak lagi merasa terburu-buru.
Ada sesuatu yang damai tumbuh di dada — keyakinan bahwa setiap hal indah akan datang pada waktunya,
dan bahwa diam… kadang adalah bentuk doa yang paling serius.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

POTRET 05 #BALAP KARUNG